Tuhan bersahabat dengan keheningan. Coba Dinda perhatikan alam ini, bagaimana rumput hijau itu tumbuh diatara pepohonan dan bunga dalam keheningan. Ada gemintang dan bulan yang bergerak dalam keheningan.... Coba diperhatikan lagi, dahi berkerut yang bersujud disepertiga malam ini! Ah, Dinda Kita sungguh memerlukan keheningan untuk dapat menyentuh jiwa.
Dinda sungguh aku bahagia berada diantara pikiran yang satu dan pikiran yang lain. Ingatkah kamu? ketika wanita yang cantik itu membimbingku memasuki sebuah ruangan yang senyap? Semilir angin yang setengah hangat berhembus melalui jendela yang terbuka, dengan perlahan melambai-lambaikan tirai dan meniup rambut gondrongku.
Ada sebuah kursi di ruangan itu. Wanita cantik itu menawariku duduk di kursi itu dan membisikan mantra rahasia ke telingaku. Tepat sebelum jam 2 dinihari, sebelum dia meninggalkan ruangan, dia berkata, “Ulangi ini dalam pikiranmu, berulang-ulang.” Sekejap dia menutup pintu, meninggalkan diriku dan mantra rahasiaku.
Sungguh ini semua, menyegerakan aku dalam menemukan kekuatan pikiranku sendiri!
Kupejamkan mata ini, kurasakan hembusan angin malam yang ringan membelai kulitku, sementara dalam benakku kuulang-ulang mantraku dengan khusyuk. Aku dapat mencium wangi dupa yang dibakar dalam ruangan itu dan kelopak bunga melati yang berserakan di sekelilingku. “Gila! Semoga ini bukanlah syirik wahai Tuhanku!”
Upss! Itu suatu pikiran. Shh. Aku harus kembali ke mantraku. Kata wanita cantik itu pikiran akan berdatangan dan pergi lagi meninggalkan benakku. “Saksikan saja,” bisiknya. “Jangan menilainya atau mempercayainya begitu saja. Biarkan pikiran itu menjauh, lalu kembali ulangi mantramu.”
Ternyata tidak semudah itu.
Semakin sering kuulangi mantra itu, terus menerus, semakin tubuhku terasa rileks. Pernafasanku menjadi semakin halus sehingga nyaris tak kentara. Jantungku berdenyut semakin lambat, dan darah yang dipompakan melalui pembuluh darahku semakin lemah tekanannya.
Pikiran mulai bermunculan lagi dalam benakku yang sibuk---orang yang harus kutelpun, tempat yang harus kudatangi---dan semuanya kutepiskan, berharap mendapatkan kurun waktu yang hening sebelum gelombang pikiran berikutnya datang melanda.
Sambil mendengarkan pikiranku mengulang-ulang mantra itu, merasakan iramanya dan suara-suara primordial di kepalaku, mulai terasa perasaan yang tak bisa dijelaskan membasuh sekujur tubuhku.
Jauh di dalam, kurasakan diriku semakin turun dan menjalin kembali hubungan dengan sesuatu yang sudah kukenal. Seperti teman lama, tempat yang dalam itu yang selalu sama, selalu ceria, selalu hidup dan dipenuhi daya cipta. Itu adalah bagian yang lebih dalam di diriku yang mengetahui sesuatu. Sungguh hubungan yang luar biasa, dan memenuhi diriku dengan kebahagian yang membuatku merasa ingin tertawa cekikikan.
Dengan menepiskan godaan itu, aku terus maju, ingin sekali merasakan lagi. Semakin gencar kuulangi mantra itu, terus menerus, semakin aku memerdekakan diri. Di saat pikiranku datang dan pergi, aku menjadi lebih tenang dan semakin tenang.
Dinda, ketahuilah...
Kesadaranku saat itu terasa seperti teh celup yang dicelupkan ke dalam segelas air panas, lalu diambil lagi. Dapat kurasakan perasaan itu semakin jenuh oleh ketiadaan. Yang kumaksudkan dengan ketiadaan adalah semacam ruang dalam waktu, dan didalamnya tidak ada pikiran apa pun.
Setiap kali mantra itu kuulangi, fenomena itu menjadi semakin kuat, dan teh celup itu menjadi semakin berat dan berat, tenggelam semakin dalam dan dalam...
Setelah berapa lama---entah berapa lama---aku kehilangan sensasi ruang. Dapat kubayangkan gelas yang bening itu dipenuhi kebaikan yang kaya, yaitu kehidupanku. Aku merasa seolah-olah menyatukan rohku dengan sesuatu yang mudah sangat kukenal, begitu aman, dan menggelitik pusat kebahagiaanku.
Aku dipenuhi perasaan murni, kejernihan, seperti yang belum pernah kualami sebelumnya. Tidak ada ego, tidak ada diri, tidak ada pikiran. Aku hanya ada disini. Hal lain sama sekali tidak berarti. Aku kembali ke sosokku yang paling suci.
Ohh, Dinda....
Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang sejati.
Sadar atau tidak,
seperti yang bersifat spiritual atau tidak, kita mungkin pernah mengalami keheningan
---beberapa detik, beberapa menit yang rasanya seperti tidak kenal waktu;
waktu sesaat ketika sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi tampak indah, dsb...
Ditulis Oleh: Agus Yulianto;